A. Floklore
Non lisan
musik dan tarian dari cirebon
Kebudayaan yang melekat pada masyarakat Kota Cirebon
merupakan perpaduan berbagai budaya yang datang dan membentuk ciri khas
tersendiri. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pertunjukan khas masyarakat
Cirebon antara lain Tarling, Tari Topeng Cirebon, Sintren, Kesenian Gembyung
dan Sandiwara Cirebonan.
Tarling adalah salah satu jenis musik yang populer di wilayah
pesisir pantai utara (pantura) Jawa Barat, terutama wilayah Indramayu dan
Cirebon. Nama tarling diidentikkan dengan nama instrumen itar (gitar)
dan suling (seruling) serta istilah Yen wis mlatar gage eling
(Andai banyak berdosa segera bertaubat). Asal-usul tarling mulai muncul sekitar
tahun 1931 di Desa Kepandean, Kecamatan/Kabupaten Indramayu. Alunan gitar dan
suling bambu yang menyajikan musik Dermayonan dan Cerbonan itu pun mulai
mewabah sekitar dekade 1930-an. Kala itu, anak-anak muda di berbagai pelosok
desa di Indramayu dan Cirebon, menerimanya sebagai suatu gaya hidup. Trend yang
disukai dan populer, di jondol atau ranggon* anak muda suka memainkannya, seni
musik ini mulai digandrungi. Pada 1935, alunan musik tarling juga dilengkapi
dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, dan kendi sebagai gong.
Kemudian pada 1936, alunan tarling dilengkapi dengan alat musik lain berupa
baskom dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi.
Sugra dan teman-temannya pun sering diundang untuk
manggung di pesta-pesta hajatan, meski tanpa honor. Biasanya, panggung itu pun
hanya berupa tikar yang diterangi lampu petromaks (saat malam hari). Tak
berhenti sampai di situ, Sugra pun melengkapi pertunjukkan tarlingnya dengan
pergelaran drama. Adapun drama yang disampaikannya itu berkisah tentang
kehidupan sehari-hari yang terjadi di tengah masyarakat. Akhirnya, lahirlah
lakon-lakon seperti Saida-Saeni, Pegat-Balen, maupun Lair-Batin
yang begitu melegenda hingga kini. Bahkan, lakon Saida-Saeni yang berakhir
tragis, selalu menguras air mata para penontonnya.
Namun yang pasti, nama tarling saat itu belum
digunakan sebagai jenis aliran musik. Saat itu nama yang digunakan untuk menyebut
jenis musik ini adalah Melodi Kota Ayu untuk wilayah Indramayu dan Melodi
Kota Udang untuk wilayah Cirebon. Dan nama tarling baru diresmikan saat RRI
sering menyiarkan jenis musik ini dan oleh Badan Pemerintah Harian (saat ini
DPRD) pada tanggal 17 Agustus 1962 meresmikan nama Tarling sebagai nama resmi
jenis musiknya. Tapi satu hal yang pasti, seni tarling saat ini meskipun telah
hampir punah. Namun demikian, tarling selamanya tidak akan bisa dipisahkan dari
sejarah masyarakat pesisir pantura. Dikarenakan tarling adalah jiwa mereka,
dengan ikut sawer keatas panggung atau sekedar melihatnya, dan
mendengarnya seolah mampu menghilangkan beratnya beban hidup yang menghimpit.
Lirik lagu maupun kisah yang diceritakan di dalamnya, juga mampu memberikan
pesan moral yang mencerahkan dan menghibur.
Tari topeng Cirebon adalah salah satu tarian di tatar
Parahyangan. Tari Topeng Cirebon, kesenian ini merupakan kesenian asli daerah
Cirebon, termasuk Indramayu dan Jatibarang. Disebut tari topeng, karena
penarinya menggunakan topeng di saat menari. Tari topeng ini sendiri banyak
sekali ragamnya, dan mengalami perkembangan dalam hal gerakan, maupun cerita
yang ingin disampaikan. Terkadang tari topeng dimainkan oleh saru penari tarian
solo, atau bisa juga dimainkan oleh beberapa orang. Salah satu jenis lainnya
dari tari topeng ini adalah tari topeng kelana kencana wungu merupakan
rangkaian tari topeng gaya Parahyangan yang menceritakan ratu Kencana wungu
yang dikejar-kejar oleh prabu Minakjingga yang tergila-tergila padanya. Pada
dasarnya masing-masing topeng yang mewakili masing-masing karakter
menggambarkan perwatakan manusia. Kencana Wungu, dengan topeng warna biru,
mewakili karakter yang lincah namun anggun. Minakjingga (disebut juga kelana),
dengan topeng warna merah mewakili karakter yang berangasan, tempramental dan
tidak sabaran. Tari ini karya Nugraha Soeradiredja.
Seni
Gembyung merupakan salah satu kesenian peninggalan para wali di Cirebon. Seni
ini merupakan pengembangan dari kesenian Terbang yang hidup di lingkungan
pesantren. Konon seperti halnya kesenian terbang, gembyung digunakan oleh para
wali yang dalam hal ini Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga sebagai media untuk
menyebarkan agama Islam di Cirebon. Kesenian Gembyung ini biasa dipertunjukkan
pada upacara-upacara kegiatan Agama Islam seperti peringatan Maulid Nabi,
Rajaban dan Kegiatan 1 Syuro yang digelar di sekitar tempat ibadah. Gembyung
merupakan jenis musik ensambel yang di dominasi oleh alat musik yang disebut
waditra. Meskipun demikian, di lapangan ditemukan beberapa kesenian Gembyung
yang tidak menggunakan waditra tarompet.
Setelah berkembang menjadi Gembyung, tidak hanya eksis
dilingkungan pesantren, karena pada gilirannya kesenian ini pun banyak
dipentaskan di kalangan masyarakat untuk perayaan khitanan, perkawinan, bongkar
bumi, mapag sri, dan lain-lain. Dan pada perkembangannya, kesenian ini banyak
di kombinasikan dengan kesenian lain. Di beberapa daerah wilayah Cirebon,
kesenian Gembyung telah dipengaruhi oleh seni tarling dan jaipongan. Hal ini
tampak dari lagu-lagu Tarling dan Jaipongan yang sering dibawakan pada pertunjukan
Gembyung. Kecuali Gembyung yang ada di daerah Argasunya, menurut catatan Abun
Abu Haer, seorang pemerhati Gembyung Cirebon sampai saat ini masih dalam
konteks seni yang kental dengan unsur keislamannya. Ini menunjukkan masih ada
kesenian Gembyung yang berada di daerah Cirebon yang tidak terpengaruh oleh
perkembangan masyarakat pendukungnya. Kesenian Gembyung seperti ini dapat
ditemukan di daearah Cibogo, Kopiluhur, dan Kampung Benda, Cirebon. Alat musik
kesenian Gembyung Cirebon ini adalah 4 buah kempling (kempling siji, kempling
loro, kempling telu dan kempling papat), Bangker dan Kendang.
Floklore non lisan Rumah
Adat Suku Baduy
Pada umumnya kehidupan sehari-hari suku-suku di
pedalaman mengandalkan naluri, termasuk dalam upaya menyesuaikan serta
menyelaraskan diri dengan lingkungan alam sekitarnya. Banyak teknik atau cara
yang digunakannya tergolong berteknologi cukup “tinggi” dan mampu memprediksi
kebutuhan hidupnya hingga masa depan. Kecenderungan tersebut diperlihatkan
secara jelas pada arsitektur vernakular suku Baduy Dalam di Kampung Cibeo.
Bentuk dan gaya bangunan rumah tinggalnya sangat sederhana, dibangun
berdasarkan naluri sebagai manusia yang membutuhkan tempat berlindung dari
gangguan alam dan binatang buas. Kesan sederhana tersebut tersirat dalam penataan
eksterior dan interiornya.
Seluruh bangunan rumah tinggal suku Baduy menghadap ke
utara-selatan dan saling berhadapan. Menghadap ke arah barat dan timur tidak
diperkenankan berdasarkan adat. Di samping itu, ada hal yang cukup menarik dan
penting di kalangan suku Baduy, yaitu cara mereka memperlakukan alam atau bumi.
Mereka tidak pernah berusaha mengubah atau mengolah keadaan lahannya-misalna
ngalelemah taneuh, disaeuran, atawa diratakeun-untuk kepentingan bangunan yang
akan didirikan di atasnya. Sebaliknya, mereka berusaha memanfaatkan dan
menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi lahan yang ada. Hasilnya memperlihatkan
permukiman yang alami. Bangunan-bangunan tersebut bagaikan sebuah kesatuan dari
alam itu sendiri, berdiri berumpak-umpak mengikuti kontur atau kemiringan
tanahnya.
Rumah tinggal suku Baduy Dalam termasuk jenis bangunan
knock down dan siap pakai, yang terdiri dari beberapa rangkaian komponen.
Selanjutnya, komponen-komponen tersebut dirakit atau dirangkai dengan cara
diikat menggunakan tali awi temen ataupun dengan cara dipaseuk. Konstruksi
utamanya yang berfungsi untuk menahan beban berat, seperti tihang-tihang,
panglari, pananggeuy, dan lincar, dipasang dengan cara dipaseuk karena alat
paku dilarang digunakan. Justru teknik tersebut bisa memperkuat karena kedua
kayu yang disambungkan lebih menyatu, terutama ketika kedua kayunya sudah
mengering.
Sementara komponen seperti bilik (dinding), rarangkit
(atap), dan palupuh (lantai) hanya sekadar diikat atau dijepit pada bambu atau
kayu konstruksi. Oleh karena itu, bangunan rumah tinggal suku Baduy termasuk
jenis bangunan tahan gempa karena konstruksinya bersifat fleksibel dan elastis.
Rumah panggungBangunan rumah tinggalnya berbentuk rumah panggung. Karena konsep
rancangannya mengikuti kontur lahan, tiang penyangga masing-masing bangunan
memiliki ketinggian berbeda-beda. Pada bagian tanah yang datar atau tinggi,
tiang penyangganya relatif rendah. Adapun pada bagian yang miring, tiangnya
lebih tinggi. Tiang-tiang penyangga tersebut bertumpu pada batu kali agar
kedudukannya stabil. Batu kali merupakan komponen yang cukup penting pula di
lingkungan kampung suku Baduy. Selain digunakan untuk tumpuan tiang penyangga,
batu kali juga digunakan sebagi penahan tanah agar tidak longsor. Caranya
dengan ditumpuk membentuk benteng, atau dipakai untuk membuat anak tangga,
selokan, ataupun tempat berjalan yang sangat berguna terutama jika musim hujan
tiba. Jenis atapnya disebut sulah nyanda. Pengertian dari nyanda adalah posisi
atau sikap bersandar wanita yang baru melahirkan. Sikap menyandarnya tidak
tegak lurus, tetapi agak merebah ke belakang. Jenis atap sulah nyanda tidak
berbeda jauh dengan jenis atap julang ngapak. Jika jenis atap yang disebutkan
terakhir memiliki dua atap tambahan di kedua sisinya, atap jenis sulah nyanda
hanya memiliki satu atap tambahan yang disebut curugan. Salah satu atap pada
sulah nyanda lebih panjang dan memiliki kemiringan yang rendah.
Rumah tinggal suku Baduy hanya memiliki satu pintu
masuk yang ditutup dengan panto, yaitu sejenis daun pintu yang dibuat dari
anyaman bilah-bilah bambu berukuran sebesar ibu jari dan dianyam secara
vertikal. Teknik anyaman tersebut disebut sarigsig. Orang Baduy tidak mengenal
ukuran seperti halnya masyarakat modern. Karena itu, mereka pun tidak pernah tahu
ukuran luas maupun ketinggian rumah tinggal mereka sendiri. Semuanya dibuat
dengan perkiraan dan kebiasaan semata. Dalam menentukan ukuran lebar pintu
masuk, mereka cukup menyebutnya dengan istilah sanyiru asup. Lebar pintu diukur
selebar ukuran alat untuk menampi beras. Sebagian besar pintu tidak dikunci
ketika ditinggalkan penghuninya. Akan tetapi, beberapa orang membuat tulak
untuk mengunci pintu dengan cara memalangkan dua kayu yang didorong atau
ditarik dari samping luar bangunan. Ruangan Inti
Pembagian
interiornya terdiri dari tiga ruangan, yaitu sosoro, tepas, dan imah. Sosoro
dipergunakan untuk menerima kunjungan tamu. Letaknya memanjang ke arah bagian
lebar rumah. Selanjutnya, ruang tepas yang membujur ke arah bagian panjang atau
ke belakang digunakan untuk acara makan atau tidur anak-anak. Antara ruangan
sosoro dan tepas tidak terdapat pembatas. Keduanya menyatu membentuk huruf L
terbalik atau siku. Tampaknya bagian inti dari rumah suku Baduy terletak pada
ruangan yang disebut imah karena ruang tersebut memiliki fungsi khusus dan
penting. Selain berfungsi sebagai dapur (pawon), imah juga berfungsi sebagai
ruang tidur kepala keluarga beserta istrinya. Mereka tidak memiliki tempat
tidur khusus, tetapi hanya menggunakan tikar. Alas tersebut digunakan hanya
sewaktu tidur, setelah itu dilipat kembali dan disimpan di atas rak. Cara
tersebut menunjukkan bahwa kegunaan imah sangat fleksibel dan multifungsi. Di
sekeliling ruangan imah terdapat rak-rak untuk menyimpan peralatan dapur dan
tikar untuk tidur.
Secara garis besar, yang dinamakan imah adalah sebuah
ruangan atau bagian inti dari tata ruang dalam rumah tinggal suku Baduy. Hampir
seluruh kegiatan berpusat pada ruangan tersebut, baik hal-hal yang bersifat
lahiriah, seperti menyediakan makanan dan minuman, maupun hal-hal yang
batiniah, termasuk menjalankan peran sebagai pasangan suami-istri dan kepala
keluarga. Melalui kegiatan bergotong royong seluruh kampung, dalam sehari
mereka dapat menyelesaikan sekitar sepuluh bangunan rumah tinggal yang luasnya
lebih kurang 100-120 meter persegi. Hal ini dapat terlaksana karena mereka
tinggal memasang seluruh komponennya.
Floklore non lisan Pakaian Suku Baduy
Suku Baduy
adalah suku yang menetap di ujung Pulau Jawa sebelah barat Suku Baduy terdiri
dari dua kelompok masyarakat, yaitu Baduy Luar, yang tinggal luar daerah Baduy
Dalam,dan baduy dalam yang menetap di Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.Dalam
pandangannya mereka yakin berasal dari satu keturunan, yang memiliki satu
keyakinan, tingkah laku, cita-cita, termasuk busana yang dikenakannya pun
adalah sama. Kalaupun ada perbedaan dalam berbusana, perbedaan itu hanya
terletak pada bahan dasar, model dan warnanya saja.Baduy Dalam merupakan
masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat nilai-nilai budaya
warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini berbeda
dengan Baduy Luar yang sudah mulai mengenal kebudayaan luar. Perbedaan antara
Baduy Dalam dan Baduy Luar seperti itu dapat dilihat dari cara busananya
berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana
hanya didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu
Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Untuk Baduy
Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang,
karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain
baju sangsang hanya dilubangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja.
Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong
baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya
menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun
harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.Untuk bagian bawahnya
menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada
bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan
selembar kain. Untuk kelengkapan pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat
kepala berwarna putih. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka
yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk Masyarakat Baduy
yakin dengan pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna suci
bersih
Bagi suku
Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat
kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah
dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan
potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak
diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping
memamg ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Terlihat
dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan
mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. busana bagi kalangan pria Baduy
adalah amat penting. Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika
hendak bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik
pinggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang
dicangklek (disandang) di pundaknya.
Sedangkan,
untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar
tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna
pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung
warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya
dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah,
biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis
buah dadanya harus tertutup. Untuk pakaian bepergian, biasanya wanita Baduy
memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong,
kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan
bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.
Untuk
memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri yang
dikerjakan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian dipanen,
dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna
pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan
putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam
dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang
dipadukan dengan warna merah. Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual
tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada saat
setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung,
kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang
dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja,
yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.
Senjata
Tradisional Provinsi Riau
Orang Melayu Riau mengenal berbagai jenis senjata
tradisional, yang dikategorikanke dalam senjata pendek (seperti jembia, keris,
belati, badik, beladau, dan sabit)serta senjata panjang (tombak, kojou, pedang,
seligi, dan sundang). Senjata-senjatatersebut tidak mutlak diperlukan.Dari
sekian banyak jenis senjata tradisional yang ada, yang banyak dimilikimasyarakat
adalah jenis pedang, tombak, keris, dan badik. Pedang ‘jenawi’merupakan sejenis
senjata pedang yang dipergunakan oleh para panglima perangtempo dulu. Jenis
senjata badik (sekin) yang umum digunakan adalah ‘tumbuk lada’, yang bentuknya
seperti keris tetapi ukurannya lebih pendek. Senjata ini digunakanuntuk
berperang dan keperluan sehari-hari. Pada mata badik yang untuk berperangsering
diolesi dengan racun. Penggunaan badik untuk melawan musuh tersirat
dalamungkapan:“
Bila badik telah ditarik dari sarungnya, maka harus ditikamkan pada suatu benda atau binatang. Barulah kemudian badik dimasukkan pada sarungnya
”. Ungkapan inimenggambarkan, orang Melayu Riau pantang menyerah dalam menghadapi segalatantangan.Contoh beberapa gambar senjata tradisional provinsi Riau
Bila badik telah ditarik dari sarungnya, maka harus ditikamkan pada suatu benda atau binatang. Barulah kemudian badik dimasukkan pada sarungnya
”. Ungkapan inimenggambarkan, orang Melayu Riau pantang menyerah dalam menghadapi segalatantangan.Contoh beberapa gambar senjata tradisional provinsi Riau
Sumsel
( Palembang )
Rumah Rakit
merupakan rumah yang mengapung di atas Sungai Musi. Rumah ini terbuat dari kayu
dan bumbu dengan atap kajang (nipah), sirap dan belakangan ini dengan atap seng
(bahan yang lebih ringan).
Rumah Rakit
adalah bentuk rumah yang tertua di kota Palembang dan mungkin telah ada pada
Zaman kerajaan Sriwijaya. Dalam Komik China seperti Sejarah Dinasty Ming
(1368-1643) buku 324, ditulis mengenai rumah rakit yang bentuknya tidak banyak
berubah Pada Zaman Kesultanan palembang semua warga asing harus menetap di atas
rakit termasuk warga Inggris, Spanyol, Belanda, Cina, Campa, Siam, bahkan
kantor Dagang Belanda pertama berada di atas Rakit, lengkap dengan gudangnya.
Rumah rakit
ini selain sebagai tempat tinggal juga berfungsi sebagai gudang, industri
kerajinan. Bahkan pada tahun 1900 an di bangun Rumah sakit di atas rakit karena
di anggap mereka lebih sehat dan indah karena dapat melihat kehidupan di
sepanjang aliran sungai musi.
Rumah limas yang dibangun dengan ketinggian lantai
yang berbeda dan yang sejajar. Rumah limas yang lantainya sejajar ini kerap
disebut rumah ulu. Bangunan rumah limas biasanya memanjang ke belakang. Ada
bangunan yang ukuran lebarnya 20 meter dengan panjang mencapai 100 meter. Rumah
limas yang besar melambangkan status sosial pemilik rumah. Biasanya pemiliknya
adalah keturunan keluarga Kesultanan Palembang, pejabat pemerintahan Hindia
Belanda, atau saudagar kaya.
Bangunan rumah limas memakai bahan kayu unglen atau
merbau yang tahan air. Dindingnya terbuat dari papan-papan kayu yang disusun
tegak. Untuk naik ke rumah limas dibuatlah dua undak-undakan kayu dari sebelah
kiri dan kanan. Bagian teras rumah biasanya dikelilingi pagar kayu berjeruji
yang disebut tenggalung. Makna filosofis di balik pagar kayu itu adalah untuk
menahan supaya anak perempuan tidak keluar dari rumah. Memasuki bagian dalam
rumah, pintu masuk ke rumah limas adalah bagian yang unik. Pintu kayu tersebut
jika dibuka lebar akan menempel ke langit- langit teras. Untuk menopangnya,
digunakan kunci dan pegas. Bagian dalam ruangan tamu, yang disebut kekijing,
berupa pelataran yang luas. Ruangan ini menjadi pusat kegiatan berkumpul jika
ada perhelatan. Ruang tamu sekaligus menjadi "ruang pamer" untuk
menunjukkan kemakmuran pemilik rumah. Bagian dinding ruangan dihiasi dengan
ukiran bermotif flora yang dicat dengan warna keemasan. Tak jarang, pemilik
menggunakan timah dan emas di bagian ukiran dan lampu- lampu gantung antik
sebagai aksesori.
Rumah Limas merupakan prototipe rumah tradisional
Palembang. Selain ditandai dengan atapnya yang berbentuk limas, rumah
tradisional ini memiliki lantai bertingkat tingkat yang disebut Bengkilas dan
hanya dipergunakan untuk kepentingan keluarga seperti hajatan. Para tamu
biasanya diterima diteras atau lantai kedua. Kebanyakan rumah limas luasnya
mencapai 400 sampai 1000 meter persegi atau lebih, yang didirikan diatas
tiang-tiang dari kayu unglen atau ulin yang kuat dan tanah air.Dinding, pintu
dan lantai umumnya terbuat dari kayu tembesu. Sedang untuk rangka digunakan
kayu seru. Setiap rumah terutama dinding dan pintu diberi ukiran. Saat ini
rumah limas sudah mulai jarang dibangun karena biaya pembuatannya lebih besar
dibandingkan membangun rumah biasa. Rumah adat limas adalah tempat tinggal yang
dipergunakan olehs ebuah keluarga untuk membina kehidupan kekeluargaan, baik
dalam kehidupan sehari-hari maupun pada hari-hari tertentu termasuk
upacara-upacara ada yang ada hubungannya dengan keluarga tersebut.
Nama limas untuk rumah adat berasal dari kata-kata
lima dan emas, dengan mengidentikan emas dengan lima sifatnya yaitu sebagai
keagungan dan kebesaran, rukun damai, adab yang sopan santun, aman, subur
sentosa serta makmur sejahtera. Dengan demikian, rumah adat limas mengandung
makna yang sangat mendalam dan merupakan simbolisasi dari suatu ungkapan yang
antara lain diekspresikan dalam bentuk atap yang curam dan lima tingkatan pada
lantai atau kekijing
klik disini
0 comments:
Post a Comment
Silahkan koment, bagi yang tidak punya blog silahkan koment dengan memilih Anonymous pada beri komentar sebagai ! Tolong yach sekalian klik link di atas !!!
terima kasih ^_^ ,